Dunia Krisis Pangan, Bagaimana Korsel dan Indonesia Menyikapinya?
Program Pangan Dunia (WFP) dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan ancaman krisis pangan semakin nyata.
Dalam sebuah pernyataan pada Senin, 6 Juni 2022, yang dikutip KBS World, WFP dan FAO menyebut bahwa krisis pangan didorong oleh lonjakan harga pangan dan energi akibat pandemi COVID-19 dan Perang Rusia-Ukraina.
Direktur Eksekutif WFP David Beasley mengatakan krisis pangan sedang mengancam ratusan rumah tangga yang hidup sederhana serta mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah penduduk yang menghadapi krisis kelaparan mencapai 276 juta orang, meningkat sekitar 200 juta orang dalam 4 hingga 5 tahun terakhir.
Terkait hal itu, Wakil Pertama Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Gita Gopinath mengungkapkan kekhawatiran akan keamanan pangan. Menurutnya, jika pengaruh krisis membesar terhadap negara-negara Afrika di wilayah selatan Gurun Sahara, yang 40 persen dari total kebutuhan pangannya bergantung pada impor, maka setiap negara akan melakukan penimbunan pangan. Dia juga memperingatkan bahwa sekitar 20 negara yang membatasi ekspor pangan dan pupuk akan memperburuk masalah tersebut.
Baca Juga: Imbas Larangan CPO Indonesia, Harga Makanan di Korsel Melonjak
Di Korea Selatan, belum terdeteksi kesulitan pasokan tepung terigu dan minyak kedelai, tetapi harga impor yang semakin tinggi menyulitkan dunia usaha. Dalam satu tahun terakhir, harga mie naik lebih dari 30 persen dan harga minyak goreng naik lebih dari 20 persen.
Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Peternakan Korsel saat ini sedang menyediakan tindak penanggulangan, termasuk dengan pemberian bantuan dana untuk pembelian tepung terigu, menstabilkan pembelian bahan baku, dan pemangkasan bea masuk.
Tingkat swasembada biji-bijian Korea Selatan sangat rendah, yaitu sedikit di atas 20 persen. Namun, sebagaimana beras merupakan fokus utama, maka jika mengecualikan beras, swasembada biji-bijian lain hanya sebesar 3 persen. Semua biji-bijian lain, kecuali beras, diimpor. Oleh karena itu, pemerintah Korea Selatan mendorong peningkatan swasembada jangka panjang sambil terus berupaya menstabilkan pasokan untuk menghadapi krisis pangan.
Indonesia Sikapi Krisis Pangan
Krisis pangan dunia juga mendapat perhatian serius dari Pemerintah Indonesia. Presiden RI Joko Widodo belum lama ini menyerukan produktifitas lahan dan diversifikasi pangan. Salah satu langkah konkret diversifikasi pangan adalah memperbanyak alternatif bahan pangan yang bisa ditanam dan diproduksi di Tanah Air, yang salah satunya adalah sorgum.
“Tidak hanya tergantung pada beras karena kita memiliki jagung, sagu, dan juga sebetulnya tanaman lama kita adalah sorgum. Sudah dicoba di Kabupaten Sumba Timur, seluas 60 hektare, dan kita melihat sendiri hasilnya sangat baik, secara keekonomian juga masuk,” ungkapnya saat menyaksikan panen sorgum bersama Ibu Iriana Negara Joko Widodo di PT Sorghum Indonesia, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kamis, 2 Juni 2022.
Lebih lanjut, Jokowi menjelaskan sejauh ini, produksi pangan sorgum cukup menguntungkan, yakni sekitar Rp50 juta per hektare dalam satu tahun. Selain itu, satu hektare bisa menghasilkan minimal lima ton sorgum. “Jadi per bulan sudah mencapai kurang lebih Rp4 jutaan. Ini sebuah hasil yang tidak kecil,” tuturnya.
Baca Juga: Inflasi Negara OECD Naik 7,7 Persen Tertinggi sejak 1990
Di kesempatan terpisah, Jokowi ingin masyarakat mengambil kesempatan ini dengan menanam bahan pokok secara mandiri. “Saya mengajak kita semuanya untuk menanam tanaman-tanaman yang menghasilkan bahan pangan pokok. Saudara-saudara bisa ditanami, silakan tanami padi silakan, benar. Mau ditanami apa lagi yang pangan? Jagung? Silakan,” kata Jokowi di Batang, dikutip dari keterangan tertulis Sekretariat Presiden, Rabu, 8 Juni 2022.
Jokowi menyampaikan bahan pokok yang ditanam tak harus padi. Dia menyebut masyarakat bisa menanam porang, jagung, sorgum, dan tanaman lainnya. Pemerintah siap menyediakan lahan untuk pertanian sosial. Dia memerintahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar untuk memfasilitasi rakyat.
Jokowi meminta Siti mendata lahan-lahan yang tak terpakai selama ini. Dia ingin semua lahan digunakan secara produktif. “Jangan sampai kita biarkan ada lahan yang telantar, ada lahan yang tidak produktif, benar? Ada lahan yang tidak digunakan apa-apa dibiarkan, nggak boleh. Semuanya harus produktif,” tuturnya.
Senada dengan Jokowi, Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira mengungkapkan diversifikasi pangan bisa dilakukan sebagai strategi jangka panjang dalam menghadapi ancaman krisis pangan global.
Bhima sebagaimana dikutip VOA Indonesia, menuturkan bahwa untuk diversifikasi pangan bakal menghadapi sejumlah kendala, seperti masih tingginya kuota impor bahan pangan. Menurutnya, selama impor pangan masih tinggi, hal tersebut merupakan disinsentif bagi para petani lokal untuk mengembangkan pangan alternatif.
“Jadi berbeda misalnya dengan beras, di mana beras itu ada kepastian harga dari Bulog, ada stabilisasi harga pembelian gabah, sementara kalau sorgum belum ada,” ungkap Bhima.
Ia juga menilai baik dari skala produksi maupun inovasi, bahan pangan sorgum belum bisa menandingi beras. Maka dari itu menurutnya dibutuhkan peran Bulog untuk bisa menyerap hasil produk pangan lokal ini.
Lebih jauh, Bhima menjelaskan tantangan lain yang tidak kalah berat adalah terkait edukasi dan sosialisasi produk pangan lokal agar bisa diterima bukan hanya oleh masyarakat setempat, tetapi merata di seluruh pelosok Tanah Air.
Baca juga: Hacking The Way of Peace Through the G20
Adapun strategi jangka pendek yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah fokus melakukan intensifikasi produksi beras, mengingat luasan lahan panen untuk beras atau gabah turun dua persen sepanjang 2021.
Selain itu, konektivitas antarwilayah harus segera diperbaiki oleh pemerintah, agar rantai distribusi dan harga pangan bisa merata di seluruh pelosok Tanah Air.
“Dan tentunya terkait dengan jaring pengaman sosial ini masih diperlukan bagi 40 persen kelompok pengeluaran yang paling bawah yang memang masih membutuhkan bantuan pemerintah,” katanya.
Foto: South Front
(Ag/Ag)
Leave a Reply