Joe Biden Dilantik, Bagaimana dengan Perang Dagang dan Dampaknya Bagi Indonesia?

Joe Biden resmi dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat. Kebijakan ekonominya layak ditunggu, seberapa jauh mempengaruhi negara kita. Ada peluang sekaligus tantangan yang perlu kita sikapi.

Secara umum, pelaku usaha menilai era Presiden Ke-46 AS ini akan lebih menjanjikan dibandingkan rezim Donald Trump.

“Proyeksi kami, akan ada peningkatan kapasitas berusaha dengan AS, peningkatan permintaan pasar AS dan pasar global seiring program stimulus dan normalisasi ekonomi AS,” kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Hubungan Internasional, Shinta Widjaja Kamdani.

Shinta mengungkapkan hal tersebut pada kesempatan webinar bertajuk, “Prospek Hubungan Ekonomi dan Perdagangan Indonesia-AS di Era Biden,” Selasa, 19 Januari 2021. 

 Biden yang dilantik 20 Januari 2021 itu dinilai tidak akan menghentikan perang dagang dengan Tiongkok. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho memprediksi perang dagang AS-Tiongkok justru akan kian panas. Sebab, Biden pernah menilai bahwa Trump tidak berhasil meningkatkan produksi dalam negeri sehingga kebutuhan domestik perlu ditutup impor dari China Tiongkok menimbulkan defisit perdagangan.

“Apakah perang dagang akan menurun tensinya? Saya rasa tidak akan, tetap ada bahkan meningkat, karena salah satu kritik Biden terhadap Trump adalah ketika Trump menandatangani perjanjian fase 1 dengan China. Di bawah kesepakatan fase 1 dengan China itu (AS dinilai) tidak bisa meningkatkan industri produksi dalam negeri,” ungkap Andry, dikutip Selasa, 19 Januari 2021 oleh CNN Indonesia.

Shinta sepakat dengan Andry. Perang dagang kedua negara akan terus berlanjut. Namun, tambahnya, ada peluang bagi kita. “Hal ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi AS di sektor manufaktur.”

Waspada Tuduhan AS

Di era Biden, ada potensi peningkatan tuduhan antidumping, antisubsidi, dan kebijakan lain yang siap menyerang negara kita. Hal ini berkaca dari pengalaman di era Barack Obama saat Joe Biden menjadi wakil presiden (2008-2016).

Kala itu, Indonesia mengalami banyak tuduhan antidumping dan antisubsidi, khususnya untuk biofuel yang saat ini tidak bisa lagi diekspor ke AS karena tuduhan anti-subsidinya dimenangkan AS di level domestik maupun di level WTO.

Pada 2019, AS juga telah memasukkan Indonesia sebagai negara maju. Status ini akan membuat Indonesia menjadi lebih sulit memenangkan tuduhan anti-subsidi di AS secara bilateral karena marjin perhitungan subsidi yang dipersempit.

Menghadapi hal ini, ia melanjutkan, Indonesia harus memastikan kebijakan terhadap produk ekspor unggulan sejalan dengan aturan perdagangan internasional untuk menghindari peningkatan tuduhan AS. Selain itu, kita juga perlu memanfaatkan omnibus law dan reformasi struktural untuk meningkatkan hubungan bilateral Indonesia – AS.

Yang terpenting, menurut Shinta, yang perlu selalu diingat adalah, Biden akan selalu mendahulukan kepentingan AS. Hal ini juga diamini oleh Direktur Perundingan Bilateral Kementerian Perdagangan, Ni Made Ayu Marthini. “Arah kebijakannya tetap sama untuk melayani kepentingan AS. Namun, gaya atau pendekatannya berbeda, lebih multilateralism, lebih friendly, lebih pasti,” kata Marthini di kesempatan yang sama.

Sebelumnya, Trump cenderung menggunakan pendekatan unilateral. Kemungkinan AS akan menarik tarif unilateral dan tarif retaliasi untuk menciptakan situasi multilateral yang lebih kondusif. Sekalipun tujuan tetap sama, yakni melawan kekuatan ekonomi Tiongkok.

Baca Juga: Presiden Jokowi Disuntik Vaksin dan Joe Biden Dilantik, Bagaimana Kabar Pasar?

Bagi Indonesia, situasi ini harus ditanggapi dengan menentukan fokus. Misalnya dalam jangka pendek yaitu mengisi pasar AS yang ditinggalkan Tiongkok atau negara-negara lainnya. Kemudian dalam jangka menengah atau panjang menjadi bagian dari supply chain AS dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif untuk investasi dari AS.

AS merupakan mitra dagang terbesar ke-4 setelah China, Jepang, dan Singapura dengan total perdagangan US$27,1 miliar pada 2019. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020 ekspor dari Indonesia ke AS mencapai US$ 18,6 miliar. Sedangkan impor dari AS ke Indonesia sebesar US$ 7,4 miliar.

Dalam kerangka bilateral, Marthini mengatakan Indonesia akan terus membangun kerja sama strategis dengan menangkap sejumlah peluang, salah satunya dari pemutusan fasilitas Generalized System of Preference (GSP) kepada Turki, India, dan Thailand.

Pemerintah juga telah memiliki kelompok kerja peningkatan ekspor untuk isu GSP dan non-GSP, mengajukan proposal perjanjian dagang akses GSP tanpa syarat, dan revitalisasi dialog perdagangan dan investasi pada paruh pertama 2021.

Sementara itu dalam kerangka multilateral, Indonesia bersama dengan negara-negara yang sepemahaman dapat mendorong AS untuk memperkuat sistem aturan main perdagangan, contohnya melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atau G20.

Foto: AP Images

(Ag/Ag)

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *