Tanggul Keramat APBN Jebol
Dampak Covid-19 memorak-porandakan ekonomi nasional. Krisis ekonomi tidak bisa dibendung, tanggul penyangga defisit anggaran pemerintah diperkirakan naik sebesar 5% dari produk domestik bruto (PDB). Naiknya defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebesar 5% dari PDB ini menjebol tanggul keramat yang dipatok 3 % dari PDB.
Krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 tidak terhindarkan. Tanda krisis ekonomi dimulai jebolnya tanggul keramat batas defisit APBN 3% dari PDB. Sejak 2003, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersepakat menerapkan batas maksimum defisit APBN sebesar 3% dari PDB. Namun, turunnya anggaran penerimaan dan naiknya anggaran belanja pemerintah menjadi faktor longsornya defisit fiskal yang besar dan berada di atas angka 3% dari PDB rentang waktu tahun 2020 hingga 2022. Kondisi ini memaksa pemerintah dan DPR menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1/2020 yang sudah disahkan menjadi undang-undang.
Pertumbuhan ekonomi PDB riil Indonesia pada kuartal II/2020 diperkirakan sebesar minus 5,1% year-on-year (revisi atas pertumbuhan minus 1% year on year pada prediksi April 2020) atau minus 3,97% quarter-on-quarter. Perkiraan pertumbuhan PDB riil pada 2020 juga direvisi menjadi 0,10%, turun jika dibandingkan dengan prediksi sebelumnya yaitu 1,80%.
Revisi prediksi angka pertumbuhan ekonomi ini mempertimbangkan kombinasi penurunan yang tajam dari data pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor, pertumbuhan konsumsi semen nasional, pertumbuhan ekspor-impor barang, pertumbuhan indeks penjualan ritel, dan pertumbuhan transaksi nontunai. Indikator lain seperti tingkat keramaian di perkantoran, pusat perbelanjaan, dan pusat transportasi umum yang menurun drastis.
Sementara itu, nilai restrukturisasi kredit perbankan dan multifinance yang mencapai hampir Rp800 triliun (sekitar 12% dari total kredit perbankan dan 15% dari total kredit perusahaan multifinance ) dimasukkan dalam memperhitungkan pertumbuhan PDB ini. Sebagai perbandingan, pertumbuhan PDB Indonesia pada kuartal I/2020 masih plus 2,97% year on year, sedangkan pertumbuhan kuartal II/2019 adalah plus 5,05% year on year.
Di sisi lain, terjadi penurunan penerimaan pajak dan penerimaan pemerintah nonpajak akibat melambatnya aktivitas ekonomi dan dampak dari stimulus fiskal pemerintah. Naiknya belanja pemerintah penyebab utamanya adalah stimulus untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19. Presiden Joko Widodo mengatakan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2020 akan mengalami penurunan hingga minus 4,3% hingga minus 5 %.
Harapan vs Kenyataan
Kondisi ekonomi nasional sekarang ini memang mengkhawatirkan harapan semua orang tidak terjerembap ke dalam jurang resesi. Namun, kenyataan di lapangan tidak mudah membalik tangan. Dampak lain dari pandemi Covid-19 yang berkepanjangan ini adalah belanja rumah tangga yang diperkirakan mengalami penurunan hingga minus 7% year on year, dan juga belanja investasi yang diperkirakan minus 10% year on year pada kuartal II/2020. Dan jangan lupa, bobot kedua komponen utama ini mencapai 85-90% terhadap PDB. Pemerintah tampaknya mengandalkan pergerakan belanja pemerintah dan stimulus fiskal untuk mengatasi dampak buruk pandemi korona terhadap perekonomian nasional.
Meski pemerintah melakukan stimulus fiskal dan menaikkan belanja negara, terjadi penurunan belanja negara disebabkan oleh turunnya transfer dana ke daerah. Menurut Kementerian Keuangan, sampai Mei 2020, realisasi penyaluran transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) mencapai Rp306,60 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 40,20% dari pagu anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) di dalam Perpres Nomor 54/2020 sebesar Rp762,7 triliun.
Di sisi lain, era normal baru diharapkan akan kembali mendorong roda perekonomian dengan kuat; tetapi jika melihat beberapa data dan perbandingan dengan negara lain menunjukkan bahwa pemulihan akan berlangsung bertahap dan pemulihan seutuhnya baru akan terjadi pada 2021. Hal ini membawa pada prediksi pertumbuhan ekonomi minus 0,2% year on year pada kuartal ketiga, lebih rendah dibandingkan estimasi di laporan bulan April yaitu 1,50% year on year. Padahal, Presiden Jokowi sendiri berharap dalam kuartal III/2020 nanti pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah tidak lagi menunjukkan angka minus, agar selanjutnya beban ekonomi tidak menjadi semakin berat. Sebagai informasi, proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2021 diperkirakan sebesar 4,20%.
Mungkinkah harapan Presiden untuk kuartal III dapat terwujud? Jika saja melihat kondisi saat ini dan membandingkan data pada kuartal-kuartal sebelumnya, sebagai contoh keramaian di pusat transit angkutan umum turun paling banyak di awal Mei, Badan Pusat Statistik (BPS), untuk skala domestik, kontraksinya mencapai 98,34 % dibandingkan tahun lalu, menjadi hanya 90.000 orang. Sedangkan secara bulanan, terjadi penyusutan 89,62%.
Penyusutan secara tahunan lebih dalam terjadi pada penerbangan internasional yang hanya mengangkut 10.000 orang sepanjang Mei. Jumlah tersebut menyusut hingga 99,18% dibandingkan Mei 2019 yang mencapai 1,44 juta orang. Penurunan tajam juga terlihat pada jumlah penumpang angkutan kereta penumpang yang pada Mei 2020 mencapai 5,48 juta orang. Apabila dibandingkan tahun 2019, terjadi penyusutan sampai 84,38%. Dengan catatan, jumlah penumpang yang diangkut ini termasuk KRL, di mana tiap hari hampir ada 900.000 orang.
Situasi serupa terjadi pada transportasi angkutan laut. Pandemi Covid-19 menyebabkan suasana Ramadan dan Lebaran tahun ini berbeda dibandingkan tahun sebelumnya seiring dengan kebijakan pelarangan mudik, termasuk untuk angkutan laut. Pada Mei 2020, 280.000 orang menggunakan jasa kapal penumpang, atau turun 86,82% dibandingkan Mei 2019.
Terobosan Pemerintah
Pemerintah merespons perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini dengan membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang diketuai oleh Menteri Negara BUMN Erick Tohir. Terobosan yang diharapkan dapat menjadi stimulus di kalangan dunia usaha dalam kondisi yang tidak menentu ini. Terobosan yang sangat dapat berdampak langsung ke dunia perekonomian Indonesia yang saat ini sedang mengalami tekanan langsung karena pandemi ini. Lihat saja, antara Januari-Mei 2020, total ekspor Indonesia mencapai USD64,4 miliar, yang berarti mengalami penurunan sebesar 6% dibandingkan periode yang sama pada 2019. Sedangkan antara Januari-Mei 2020, total impor Indonesia mencapai USD60,1 miliar, yang artinya juga sama mengalami penurunan sebesar 15,6% dibandingkan periode yang sama pada 2019. Untuk neraca perdagangan, antara Januari-Mei 2020 mengalami surplus USD4,31 miliar, jauh melebihi defisit USD2,13 miliar yang terjadi pada periode yang sama pada 2019.
Komite yang dikomandoi oleh Erick Tohir diharapkan juga dapat memberikan “gebrakan” seperti yang dilakukan oleh Bank Indonesia yang telah melakukan serangkaian kebijakan moneter, selain penurunan suku bunga acuan seperti menurunkan giro wajib minimum perbankan, melakukan operasi moneter yang agresif untuk menambah likuiditas, melakukan pembelian obligasi pemerintah di pasar sekunder dan primer, dan berkoordinasi dengan pemerintah untuk meringankan beban pembiayaan stimulus fiskal.
BI juga telah melakukan injeksi likuiditas sekitar Rp615 triliun (setara USD42 miliar) sejak awal tahun hingga Juni. Kemungkinan BI akan kembali menambah pembelian obligasi pemerintah antara Rp500-600 triliun (setara Rp35-40 miliar) setelah tercapai kesepakatan dengan Menteri Keuangan mengenai pembagian biaya stimulus penanganan pandemi Covid-19. Memang kita sadari, proyeksi ekonomi yang muram ini tidak terjadi di Indonesia saja, tetapi di seluruh dunia karena sebagian besar negara-negara di dunia menerapkan pembatasan aktivitas sosial-ekonomi dalam skala besar untuk mengatasi penyebaran virus Covid-19 yang mematikan.
Namun, setidaknya pembentukan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional selayaknya memiliki target dan capaian, atau bahasa kerennya ada KPI (Key Performance Indicator). Misalnya saja jika stimulus ekonomi baik ke UMKM, kesehatan, dan dunia usaha tidak mencapai 80% dari target yang disepakati bersama-sama pemerintah, berarti komite mengalami kegagalan. Kemudian menentukan target pada kuartal IV/2020 terjadi pertumbuhan ekonomi, walaupun tidak besar namun ke arah angka yang positif. Upaya ini sebagai langkah untuk membangun tanggul baru agar Indonesia tidak terjerembap masuk resesi ekonomi lebih dalam.
Dimuat di Koran Sindo, 3 Agustus 2020
Leave a Reply