Lemhannas: Dinasti Politik Hambat Konsolidasi Demokrasi

Lemhannas RI melihat fenomena menarik dari perolehan hasil Pilkada yakni menguatnya dinasti politik untuk dianalilis oleh berbagai pihak. Hal tersebut dapat dilihat dari sistem informasi dan rekapitulasi KPU yang menunjukkan bahwa 55 kandidat dari 124 kandidat (44%) terafiliasi dengan dinasti politik pejabat dan mantan pejabat.

“Fenomena dinasti politik tersebut yang kemudian justru menghambat konsolidasi demokrasi di tingkat lokal, sekaligus melemahkan institusional partai politik dan   lebih mengemukakan pendekatan personal ketimbang kelembagaan,” kata Gubernur Lemhannas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo dalam seminar tentang Pilkada serentak dan konstelasi politik di daerah di kantor Lemhannas, Kamis, 11 Februari 2021.

Akibat fenomena dinasti politik, Agus menilai,  rekrutmen politik hanya dikuasai oleh sekelompok atau segelintir orang melalui oligarki. Padahal Indonesia merupakan negara demokrasi, dimana dalam memilih pemimpin, rakyat mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi langsung didalam pemilihan umum, baik dalam hal memilih eksekutif maupun legislatif, baik tingkat nasional maupun tingkat daerah.

Pada tanggal 9 Desember 2020 telah dilaksanakan Pilkada serentak meliputi 9 Provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang secara keseluruhan berlangsung dengan aman, damai dan lancar, walaupun di tengah kondisi pandemi Covid-19.

Baca Juga: Gubernur Lemhannas RI: Amerika Serikat dan Myanmar Menjadi Contoh Ekstrem Tentang Demokrasi

Fenomena yang tak kalah menarik, kata Agus, masih kuatnya praktik politik uang. Badan pengawas pemilu menangani 104 dugaan politik uang pada Pilkada Desember 2020 yang tersebar di 19 Provinsi, yaitu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, NTB, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Banten, NTT, Babel, Kalimantan Tengah dan Riau.

“Politik uang yang dilakukan terus-menerus akan merusak budaya demokrasi di Indonesia karena akan mempengaruhi masyarakat untuk memilih berdasarkan transaksional dengan manfaat subyektif untuk kepentingan sesaat jangka pendek, tidak melihat kepada visi-misinya pembangunan jangka panjang,” papar Agus.

Agus juga menilai Pilkada serentak diwarnai dengan terindikasinya 21 kasus pelanggaran netralitas ASN. Dampak dari ketidaknetralan ASN ini juga bersifat jangka panjang, dimana akan mempengaruhi pola manajemen PNS yang tidak lagi didasarkan pada profesionalisme tetapi lebih kepada kedekatan personal terhadap pejabat, yang berarti politisasi ASN atau PNS.

Terkait kondisi demokrasi fenomena pilkada yang akan terus terulang maka perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut. Bagaimana peran kekuatan politik yang ada dalam pilkada untuk dapat terus-menerus memperkuat peran demokrasi di Indonesia guna mencapai tujuannya. Apakah kekuatan partai politik saat ini tidak lagi mempunyai kekuatan ideologis sehingga masyarakat tidak lagi teridentifikasi kepada warna partai politik tertentu dikaitkan dengan aspirasinya, dan lebih kepada pertimbangan pragmatis jangka pendek dengan melakukan politik uang dan mengedepankan figur serta politik Oligarki karena dianggap dapat meraih kekuatan maksimal untuk pemenangan Pilkada.

Wakil Pemimpin Redaksi Kompas, Tri Agung Kristanto mencatat kekuatan figur masih terasa dominan dibandingkan partai politik. “Nyaris pemenang pilkada, adalah yang memang mengangkat figur yang dominan atau popular di daerah itu,” kata Tri Agung. Tri Agung mencontohkan, kasus Sulawesi Utara yang sejak awal figur yang ada, Olly Dondokambay memang kuat. Kondisi yang sama juga terjadi di Makassar, Ramdan Pomatto yang menang  di sejumlah daerah lain.

“Sosok lokal cenderung lebih kuat dibanding sosok nasional. Apalagi, sosok lokal itu  didukung partai pemenang, seperti di Kalimantan Selatan,” katanya.

Tri Agung juga menyebutkan kekuatan figur juga tidak bisa dilepaskan dari “latar belakang” figur lain yang mendukung calon, baik langsung maupun tak langsung. Dia mencontohkan, kasus di Kota Surabaya, dengan figur Tri Rismaharini yang sangat kuat menancap di benak warga kota pahlawan. Bagitu pula kasus di Solo dan Medan. “Anak dan menantu Presiden Joko Widodo memetik kemenangan,” kata Tri Agung.

Di Kota Tangerang Selatan, calon yang didukung Airin Rachmi Diani, walikota sebelumnya, juga memenangi pilkada, meskipun “dikepung” calon yang berasal dari keluarga tokoh. Kondisi ini semakin meyakinkan “back up” figur lokal lebih menentukan dibandingkan dukungan tokoh nasional atau partai. Kondisi yang sama juga terjadi di Banyuwangi dan Makassar.

Foto: Kanigoro.com

(Rit/Ag)

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *