Pandemi Covid-19 Membuat Konflik Antar Tetangga Meningkat di Korea
Tetangga yang mengganggu adalah masalah universal. Tetapi di Korea Selatan, kebisingan yang bersumber dari aktifitas tetangga menjadi masalah sosial yang serius. Apalagi, Sebagian besar masyarakat di Negeri Ginseng itu tinggal di apartemen.
Statistics Korea di tahun 2019 menyebutkan, 80 persen tempat tinggal di Korea berupa apartemen atau di gedung yang sama. Sedangkan 20 persen lainnya adalah rumah tapak. Namun, persentase ini berubah menjadi 10 persen rumah tapak di Seoul, yang adalah Ibu Kota yang padat dan berbiaya hidup mahal.
Dengan tinggal di sebuah apartemen, jika Anda memiliki tetangga yang berisik maka hal itu bisa menjadi masalah serius untuk hidup Anda. Seperti yang dialami oleh Kim Ha-jung. Hidupnya mulai berubah sejak 6 bulan belakangan ketika kedatangan tetangga baru. Ia sendiri tinggal di sebuah apartemen di Seoul.
“Saya mulai mendengar anak-anak kecil menghentak dan melompat atau seseorang memindahkan benda berat bahkan hingga larut malam, setelah sekitar jam 10 malam,” katanya, “Bahkan, kadang-kadang mereka menjalankan penyedot debu. Benar-benar menjengkelkan ketika saya mendengar suara-suara itu ketika saya ingin tidur.”
Kondisi ini semakin parah ketika pandemi Covid-19 melanda. Di tengah pandemi, banyak orang bekerja di rumah. Nah, kebisingan yang dulu mereka hanya rasakan di malam hari sekarang juga mengalami hal yang sama di siang hari. Di saat mereka sedang bekerja di rumah.
Sengketa kebisingan antartetangga menjadi masalah serius. Maka tidak heran, jika masalah ini menjadi salah satu prioritas masalah yang akan dibereskan oleh Presiden Moon Jae-in di tahun 2017 silam. Namun memang tidak mudah menyelesaikan hal ini.
Seperti Kim, banyak orang mengalami bahwa bekerja di rumah menjadi hal yang mengerikan. Bukan hanya menghadapi kebisingan biasa, tetapi di tengah target pekerjaan terkadang mereka harus menerima tetangga mereka sedang merenovasi rumah selama berhari-hari. yang menyertai keributan pengeboran dan merobohkan dinding dan ubin.
“Maksud saya, oke, kami tinggal di gedung bersama dan meskipun berisik, saya mencoba memahami anak-anak yang berlarian di malam hari, tetangga saya berkelahi atau alarm ponsel berdering karena tetangga saya tidak bisa bangun di pagi hari,” kata penduduk Lee Ju-hyung yang tinggal di apartemen di Seoul.
Baca Juga: Tradisi Tahun Baru Seollal di Korea dan Maknanya di Tengah Pandemi
“Tapi kebisingan menjadi lebih jelas sejak perusahaan saya beralih dari bekerja di kantor menjadi bekerja di rumah di tengah wabah Covid-19. Pada beberapa hari, ada orang yang memperbaiki rumah mereka, dan saya tidak punya tempat tujuan. Mengerikan dan tidak tahu bagaimana mengatasi kebisingan itu,” ia melanjutkan.
Situasi diperburuk oleh perilaku sebagian oknum yang menunjukkan tidak berempati pada tetangganya. Misalnya ada keluarga pelawak yang secara terang-terangan bermain bisbol atau berolahraga di rumah dengan lantai yang tidak dilapisi peredam. Perbuatan mereka yang diunggah di media sosial itu mengundang amarah publik.
Demikian pula, kementerian kesehatan harus merilis permintaan maaf resmi setelah video kampanye yang mendorong orang untuk mengatasi pandemi malah memicu kemarahan. Video itu menunjukkan sebuah keluarga yang dengan penuh semangat menari di sebuah apartemen. Membuat banyak orang berpikiran bahwa pemerintah mengijinkan masyarakat untuk “menindas” tetangga yang tinggal di bawahnya.
Di YouTube, kata kunci kedua yang paling banyak ditelusuri untuk jenis perselisihan ini adalah “balas dendam”, dengan sejumlah video berbagi cara untuk membalas tetangga yang ribut. Beberapa menyarankan menggunakan speaker woofer, sementara beberapa berbagi cerita untuk pergi ke lantai atas untuk melompat-lompat.
Namun demikian, banyak juga di antara warga Korea yang memiliki empati kepada tetangganya. “Saya beruntung dan tidak pernah mendapat keluhan dari tetangga saya. Sekali atau dua kali dalam setahun, saya meninggalkan buah atau kue beras di depan pintu tetangga saya, di lantai bawah dan meninggalkan pesan yang mengatakan saya minta maaf karena anak-anak saya berisik,” kata Cho Eun-soo, seorang ibu dari dua anak.
“Pada saat yang sama, saya selalu memberi tahu anak-anak saya untuk memikirkan tetangga kami. Saya mungkin memperingatkan mereka rata-rata sekitar 10 kali sehari,” katanya, “Dengan pandemi, mereka tinggal di dalam rumah lebih lama dan bahkan menjadi sedikit gemuk, dan saya merasa kasihan karena selalu mengomeli mereka, tetapi saya berharap mereka tumbuh menjadi orang yang penuh perhatian.”
Masalah kebisingan tetangga membuat Kementerian Lingkungan Hidup meluncurkan rencana lima tahun yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan mengambil sikap yang lebih aktif melawan polusi suara.
“Titik fokusnya adalah mengelola berbagai jenis kebisingan dengan menyelidiki efek paparan kebisingan terhadap kesehatan warga. Kami akan mendukung kebijakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan menciptakan lingkungan hidup yang tenang,” kata Ha Mi-na, seorang petugas pemerintahan.
Baca Juga: 25 Persen Artis K-Pop Jadi Korban Video Syur Deepfake
Perwakilan Yang Kyung-sook dari Partai Demokrat yang berkuasa juga telah mengusulkan undang-undang yang bertujuan untuk mengurangi perselisihan tetangga akibat kebisingan. Salah satu poin yang akan diatur adalah bagaimana membentuk komite mediasi ketika ada tetangga yang berselisih. Rancangan ini juga akan mengatur sanksi bagi para pengembang jika terjadi perselisihan karena dinilai tidak mampu mengurangi kebisingan di dalam proses konstruksi.
Tetapi sampai undang-undang itu direvisi dan sistem diubah, para ahli mengatakan bahwa cara tercepat dan paling diinginkan untuk menyelesaikan perselisihan antar tetangga adalah dengan mencegah mereka yang berselisih untuk tidak sampai terlibat dalam perkelahian yang serius.
Hal itu diungkap Seo Byeong- ryang, seorang pejabat di Korea Environment Corp. yang menjalankan pusat bantuan untuk sengketa kebisingan.”Setelah konsultasi telepon dengan orang-orang yang menderita sengketa kebisingan, yang saya rasakan adalah menyelesaikannya dengan baik-baik. Sengketa kebisingan harus diselesaikan sebagai sengketa kebisingan alih-alih berubah menjadi perkelahian yang lebih besar dan merugikan banyak pihak.”
Pusat bantuan menyediakan sesi konsultasi untuk orang-orang yang mengalami perselisihan kebisingan dan jika perlu, melakukan kunjungan rumah untuk mengukur tingkat kebisingan dan membantu tetangga menyelesaikan masalah tersebut. Seo menekankan bahwa dalam banyak kasus, situasi membaik secara signifikan ketika kedua belah pihak memiliki “pikiran terbuka”.
“Saat kami berkunjung ke rumah-rumah, kami menanyakan seperti apa jadwal harian mereka. Misalnya, ada keluarga yang memiliki anak SMA yang pulang larut malam setelah belajar untuk persiapan ujian. Setelah tetangga mengetahui hal itu, mereka mengatakan bisa memahami kebisingan sampai ujian selesai, “katanya. “Jika orang mengenal satu sama lain dan membuka pikiran mereka, biasanya masalah akan ditangani dengan lancar. Tapi jika tidak, masalah akan terus berlanjut.”
Kim dan Cho setuju, mengatakan yang terpenting pada akhirnya adalah menjadi tetangga yang penuh perhatian. “Kita semua menjalani kehidupan kota yang sibuk dan tidak punya banyak waktu dan energi untuk mengenal tetangga kita. Namun terlepas dari itu, saya pikir kita harus selalu ingat bahwa kita bisa menjadi korban dan pelaku. Maka baik bagi kita untuk bersikap dengan berhati-hati,” kata Kim.
“Skenario yang ideal adalah orang menjadi lebih perhatian dan sedikit kurang sensitif ketika tinggal di gedung bersama,” kata ibu Cho. “Tapi di atas semua itu, saya pikir kita harus mencoba menjadi bijaksana dengan setidaknya berpikir bahwa kita harus mencoba diam di malam hari dan tidak memindahkan furnitur pada larut malam. Saya hanya berharap masyarakat bisa menjadi lebih bijaksana.”
Oleh Lee Minji
Foto: Markus Winkler, Unsplash
Leave a Reply