PT Bukit Asam Uji Coba ”Co-firing Wood Pellet”

PT Bukit Asam Tbk atau PTBA menguji coba co-firing wood pellet sebagai upaya mendukung dekarbonisasi dan transisi energi nasional.

Pengujian dilakukan di pembangkit listrik tenaga uap mulut tambang berkapasitas 3×10 megawatt di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, Senin, 22 September 2025 hingga Kamis, 25 September 2025.  

Menurut berita Kompas.id, co-firing adalah teknologi pencampuran batubara dengan biomassa. Langkah ini tidak hanya menjadi strategi PTBA untuk mengurangi emisi karbon, tetapi juga untuk memperluas pemanfaatan sumber energi terbarukan.

Dalam uji coba di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Enim, PTBA memanfaatkan wood pellet (pelet kayu) yang berasal dari sisa industri kehutanan. Wood pellet tersebut merupakan hasil pembersihan lahan (land clearing) dari tanaman seperti pulai, akasia, hingga puspa, yang kemudian diolah menjadi bahan bakar alternatif ramah lingkungan.

Ke depan, PTBA juga akan mengembangkan produksi wood pellet dengan memanfaatkan tanaman kaliandra merah. Tanaman ini telah ditanam di lahan pascatambang dan kini tengah menunggu masa panen. Langkah ini diharapkan dapat memberikan pasokan biomassa yang berkelanjutan.

Sebelumnya, PTBA juga telah membangun dan mengoperasikan pabrik wood pellet dengan kapasitas produksi yang dirancang khusus untuk mendukung kebutuhan co-firing di PLTU. Kehadiran fasilitas pabrik tersebut merupakan bentuk komitmen perusahaan dalam berekspansi ke bisnis hijau.

”Pemanfaatan wood pellet bukan sekadar inovasi teknologi, melainkan bagian dari kontribusi nyata perusahaan terhadap masa depan energi bersih,” ujar Direktur Hilirisasi dan Diversifikasi Produk PTBA Turino Yulianto, dalam keterangan resminya, Rabu, 1 Oktober 2025.

Menurut Turino, uji coba co-firing ini merupakan tahapan penting untuk memastikan kesiapan teknis, keselamatan, dan keandalan operasional dalam penggunaan biomassa sebagai bahan bakar campuran di PLTU.

Inisiatif ini sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menekan emisi karbon serta memperkuat ketahanan energi nasional. Dengan memanfaatkan biomassa, PTBA tidak hanya menghadirkan solusi energi alternatif, tetapi juga mendukung target Indonesia menuju nol emisi (net zero emission).

”Dengan begitu, perusahaan yang dulu identik dengan batubara kini semakin mantap meneguhkan identitas barunya sebagai pemain utama dalam transisi menuju energi bersih,” kata Turino.

Perlu kehati-hatian

Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS) Ali Ahmudi Achyak, saat dihubungi terpisah pada Rabu (1/10/2025), menjelaskan bahwa transisi energi merupakan mandat yang harus dilaksanakan oleh semua negara. Hal itu merupakan hasil kesepakatan internasional untuk menurunkan emisi dan mengatasi perubahan iklim.

”Jadi, ini bukan hanya kewajiban satu atau dua negara, tetapi seluruh dunia,” ujarnya.

Namun, Ali mengingatkan perlunya kehati-hatian dalam proses transisi energi. Ada beberapa hal yang perlu dipahami. Pertama, aspek ketersediaan energi harus terjamin, termasuk listrik.

”Kelangkaan bahan bakar di salah satu stasiun pengisian bahan bakar umum swasta beberapa waktu lalu saja sudah menimbulkan kehebohan,” tutur Ali.

Kedua, energi yang dihasilkan harus mencapai skala keekonomian agar terjangkau oleh masyarakat. Ketiga, aspek keberlanjutan lingkungan juga harus terpenuhi.

Saat ini, 55-56 persen kebutuhan listrik nasional masih dipasok dari PLTU. Terdapat lebih dari 200 PLTU di Indonesia, dengan sekitar 114 di antaranya merupakan pembangkit skala besar. Konsumsi energi di Jawa mencapai 56 persen dari total kebutuhan nasional, sementara Sumatera sekitar 25 persen.

Mengingat lebih dari 50 persen pasokan listrik nasional berasal dari batubara, mematikan PLTU secara langsung akan menimbulkan kendala besar. Oleh karena itu, co-firing menjadi salah satu solusi.

Pasokan wood-chip sebagai pencampur batubara di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Air Anyir, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Senin, 10 Juli 2023. PLTU berkapasitas 2 X 30 megawatt (MW) itu membutuhkan sedikitnya 1.500 ton sampai 1.800 ton wood chip per bulan sebagai co-firing dengan bauran biomassa sebesar 5 persen.

Dari 52 PLTU yang sudah ditetapkan, penggunaan co-firing bisa mencapai 5-10 persen, bahkan dapat dinaikkan hingga 15 persen. Namun, langkah ini harus dilakukan dengan hati-hati karena memerlukan sedikit modifikasi teknologi di beberapa PLTU, tergantung jenis boiler (ketel uap) yang digunakan.

​”Dengan co-firing, konsumsi batubara akan menurun. Bauran batubara dengan biomassa tidak hanya menurunkan emisi, tetapi dalam beberapa kasus juga dapat meningkatkan efisiensi PLTU,” ucapnya.

Sementara Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menilai, co-firing bagian dari inovasi untuk penyiapan transisi energi dari penggunaan energi fosil ke nonfosil. Namun, tantangannya soal teknologi dan biaya investasi karena harus mengandalkan teknologi.

Pencapaian bauran energi Indonesia baru 13 persen dari target 23 persen pada 2025. Hal itu terjadi, selain karena kendala teknologi dan investasi, juga harga jual listrik energi terbarukan belum kompetitif.

”Harganya belum kompetitif karena sistem kelistrikan Indonesia menganut sistem pembeli tunggal (single buyer), yaitu PLN,” ungkap Bisman.

Ia menjelaskan lebih lanjut, semua listrik yang diproduksi oleh pembangkit, baik swasta maupun non-swasta, dibeli oleh PLN dengan harga standar yang berbasis batubara, yakni sekitar 8 sen dollar AS per kilowatt-jam (kWh). Sementara harga keekonomian listrik dari sumber non-batubara masih di atas angka tersebut.

Untuk mengatasinya, diperlukan regulasi yang menciptakan tata niaga energi terbarukan yang lebih efisien. Selain itu, pemerintah perlu memberikan insentif, baik fiskal maupun nonfiskal, serta mempermudah berbagai aspek, seperti perizinan dan pertanahan, untuk menekan biaya.

Langkah lainnya adalah mendorong produksi massal komponen energi terbarukan, seperti panel surya. Pemerintah, melalui badan usaha milik negara (BUMN), semestinya dapat memproduksi komponen-komponen ini dalam skala besar.

Foto: Pasokan ”wood-chip” sebagai pencampur batubara di PLTU Air Anyir, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, Senin, 10 Juli 2023. PLTU itu membutuhkan sedikitnya 1.500 ton sampai 1.800 ton ”wood chip” per bulan sebagai ”co-firing”. Secara terpisah, PT Bukit Asam Tbk juga telah membangun dan mengoperasikan pabrik “wood pellet” dengan kapasitas produksi yang dirancang khusus untuk mendukung kebutuhan “co-firing” di PLTU.

(Ag/Ag)

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *