Jatuhnya Harga Batubara di Tengah Stabilitas Pasar Ekspor
Harga batubara merosot akibatnya menumpuknya persediaan di China. Sejumlah perusahaan tetap menargetkan peningkatan produksi dan penjualan pada 2025.
Merosotnya harga batubara hingga level terendah dalam empat tahun terakhir menjadi bagian dari fluktuasi harga komoditas ”emas hitam” itu. Di sisi lain, pasar ekspor terutama India dan China masih menjadi tumpuan batubara asal Indonesia. Sejumlah perusahaan pun optimistis harga batubara internasional akan membaik dan terjaga.
Baca Juga: Respons PTBA Ketika HBA Jadi Acuan Ekspor
Sebagaimana dinukil dari Trading Economics, harga batubara Newcastle yang menjadi acuan internasional, merosot dari 140 dollar AS per ton pada November 2024 hingga menjadi 99 dollar AS per ton pada Jumat, 28 Februari 2025 atau akhir pekan lalu. Terakhir kali harga batubara di bawah 100 dollar AS per ton ialah pada Mei 2021.
Harga batubara sempat mencapai lebih dari 400 dollar AS per ton pada pertengahan 2022, yang didorong konflik bersenjata Rusia dan Ukraina. Setelah itu, harga menurun, tetapi mampu dijaga di kisaran 120-140 dollar AS per ton pada periode 2023-2024, sebelum kemudian anjlok pada awal 2025.
Harga batubara yang ambrol terjadi akibat pasokan yang lebih dominan dibandingkan permintaan kuat dari negara-negara konsumen utama. China meningkatkan produksi sebesar 1,5 persen menjadi 4,82 miliar ton pada 2025, tetapi di saat bersamaan persediaan (inventory) melonjak 12 persen. Produksi batubara Indonesia, sebagai negara pengekspor terbesar, juga mencapai rekor, yakni 836 juta ton pada 2024 atau di atas target yang 710 juta ton.
Baca Juga: PTBA Fokus Geber Proyek Hilirisasi Batubara di 2025
Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, mengatakan, di samping kondisi kelebihan pasokan dibandingkan permintaan, kondisi cuaca juga cukup berpengaruh pada harga batubara. Ditambah lagi situasi ekonomi global yang tidak terlalu baik jika dibandingkan tahun lalu.
”Namun, pembelian batubara Indonesia, kan, jangka panjang. Perusahaan-perusahaan batubara pun relatif memiliki pembeli yang sudah stabil, meski nantinya harga akan tetap berpengaruh. Bagaimanapun, setiap komoditas pasti fluktuatif. Saya melihat, dampak harga saat ini bersifat jangka pendek,” ujar Ferdy, saat dihubungi di Jakarta, Selasa, 4 Maret 2025.
Beberapa tahun terakhir, di tengah tren harga batubara yang terjaga, pasar ekspor menjadi tumpuan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, dari total produksi 836 juta ton batubara pada 2024, sebanyak 555 juta ton atau 66,4 persen diekspor, terutama ke India dan China. Jumlah itu setara 33-35 persen dari total konsumsi dunia.
Menurut Ferdy, dengan mengandalkan pasar ekspor, fluktuasi harga batubara global sudah menjadi risiko para pelaku usaha batubara Indonesia. Sempat mendapat berkah lonjakan harga batubara pada 2022, kini siklus terjadi. Dengan menurunnya harga batubara, suka tidak suka, kinerja korporasi pasti akan bakal ikut menurun.
Salah satu upaya yang dapat didorong secara bertahap, imbuh Ferdy, ialah gasifikasi batubara menjadi dimetil eter (DME). Proyek DME, sebagai pengganti elpiji, di Sumatera Selatan, sebenarnya sudah dilakukan peletakan batu pertama pada 2022, yang juga dihadiri Presiden Joko Widodo. Namun, Air Products asal AS, sebagai investor, belakangan mundur.
Baca Juga: Tahun 2024 PTBA Sukses Cetak Rekor Penjualan Tertinggi
Ferdy menambahkan, hal-hal penghambat pengembangan hilirisasi perlu benar-benar dievaluasi dan dibenahi. ”Mitra akan diperlukan dan segalanya mesti dipersiapkan dengan baik. Kalaupun memang benar dibangun, hilirsasi (batubara) baru akan berjalan 5-10 tahun ke depan. Saat ini, bagaimanapun, batubara kita tetap akan bertumpu pada ekspor,” kata Ferdy.
Di tengah komitmen investor untuk DME yang mandek, pemerintah menghidupkan kembali asa hilirisasi batubara. Pabrik DME akan menjadi salah satu proyek strategis yang menurut rencana didanai Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyebut belanja modal (CapEx) akan berasal dari pemerintah dan swasta nasional (Kompas.id, 4/3/2025).
Perusahaan-perusahaan batubara relatif memiliki pembeli yang sudah stabil, meski nantinya harga akan tetap berpengaruh.
Optimistis
Sejumlah perusahaan batubara optimistis kinerja perusahaan akan meningkat pada tahun ini meski terjadi tren penurunan harga batubara di awal 2025. PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), misalnya, yang menargetkan peningkatan volume penjualan batubara dari 24 juta ton pada 2024 menjadi 26,3-27,4 juta ton pada 2025.
Merujuk data pada 2024, China menjadi mayoritas negara tujuan penjualan batubara ITMG sebesar 38 persen, disusul Indonesia atau domestik 23 persen, dan Jepang 18 persen. Sementara itu, sisanya sejumlah negara lain, seperti Fiipina, India, Thailand, Hong Kong, dan Bangladesh.
Untuk target penjualan batubara ITMG pada 2025, sebesar 14 persen sudah pasti (fixed). ”Sementara 53 persen volumenya sudah commit, tetapi harganya mengikuti nanti saat pengiriman. Sisanya belum dijual,” ujar Direktur Korporat Komunikasi dan Hubungan Investor ITM Yulius Kurniawan Gozali, pada temu media, di Jakarta, Senin, 3 Maret 2025.
Terkait tren penurunan harga batubara, Yulius menuturkan, banyaknya persediaan batubara di China yang menjadi faktor pendorong sehingga aktivitas perdagangan atau pembelian batubara relatif sepi di awal 2025. Nantinya, semua akan bergantung dari perkembangan ekonomi China. Ia pun berharap harga batubara akan kembali pulih atau membaik.
Baca Juga: Target Harga Baru Saham PTBA
ITMG, yang mengelola delapan lokasi pertambangan, beroperasi di Kalimantan, menyiapkan tiga strategi operasi perusahaan pada 2025. Pertama ialah mengoptimalkan operasi, khususnya terkait efisiensi dan penghematan biaya. Di antaranya mengatur kembali jarak pembuangan lapisan tanah penutup (overburden), misalnya dari 5 kilometer (km) ke 3 km.
”Kedua, memaksimalkan produktivitas yang berarti meningkatkan volume (produksi). Ketiga adalah meningkatkan performa rantai pasok dan logistik atau berkait dengan penjualan,” ujar Yulius.
Pada 2024, total volume produksi ITMG sebesar 20,2 juta ton atau meningkat 20 persen dibandingkan 2023. Efektivitas operasional menjadi salah satu faktor tercapainya kinerja operasi itu. Namun, di tengah penurunan harga jual rata-rata sebesar 16 persen, ITMG membukuan laba bersih sebesar 376 juta dollar AS atau menurun 25 persen secara tahunan.
Amati perkembangan
Sebelumnya, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) menorehkan penjualan batubara 42,9 juta ton pada 2024 atau tumbuh 16 persen secara tahunan. Itu ditopang ekspor batubara sebesar 20,3 juta ton pada 2024 atau meningkat 30 persen secara tahunan. Sementara itu, realisasi Domestic Market Obligation (DMO) ialah 22,6 juta ton, tumbuh 6 persen secara tahunan.
Penjualan batubara PTBA didominasi pasar domestik dengan 53 persen, sedangkan pasar ekspor 47 persen. Kendati demikian, secara bauran, porsi ekspor meningkat seiring upaya mengoptimalkan pasar-pasar utama, seperti ke India yang meningkat 32 persen secara tahunan menjadi 6,4 juta ton pada 2024.
Baca Juga: Ini Upaya PTBA Perkuat Keselamatan Kerja
Ekspor batubara PTBA ke Vietnam, Thailand, dan Malaysia juga meningkat secara tahunan pada 2024. Penjualan ke Vietnam meningkat 250 persen menjadi 3 juta ton dan ke Thailand meningkat 153 persen menjadi 1,6 juta ton. Adapun ekspor ke Malaysia naik 221 persen menjadi 888.700 ton.
Pada 2025, PTBA menargetkan produksi batubara sebesar 50 juta ton, penjualan 50,1 juta ton, serta angkutan 43,2 juta ton. ”Perseroan melakukan perencanaan dengan mencermati perkembangan pasar terkini dan mengantisipasi berbagai faktor eksternal yang dinamis,” kata Sekretaris Perusahaan PTBA Niko Chandra, Selasa, 4 Februari 2025.
Sumber: Kompas.id
Foto: PTBA
(Ag/Ag)
Leave a Reply