Menakar Seberapa Besar Prospek Mobil Listrik di Indonesia
Pemerintah Indonesia menandatangani Peraturan Presiden (PerPres) mobil listrik yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Pengembangan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi. Artinya, saat ini aturan tersebut sudah mulai berlaku.
Oleh karena itu, pemerintah sudah mulai mempromosikan penggunaan mobil listrik di dalam negeri. Tujuannya, pertama ingin mengurangi impor BBM yang begitu tinggi. Kedua, pemerintah ingin menjalankan Kesepakatan Paris atau Paris Agreement, yang merupakan kesepakatan internasional berbasis hukum untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pasca tahun 2020.
Keinginan Presiden mempercepat alih dari mobil konvensional ke mobil listrik karena serapan bahan bakar minyak (BBM) sangat membebani postur anggaran nasional. Produksi minyak kita hanya 780 barel per hari, sementara konsumsi BBM kita mencapai 1,6 juta barrel per hari.
Pada asumsi harga minyak US 40/barel dengan nilai tukar rupiah 14.500 rupiah/ dollar nilai impor minyak mencapai Rp. 928 milliar rupiah per hari. Sementara itu ekspor BBM kita hanya 456 juta per hari. Artinya defisit minyak mencapai 111,3 triliun per tahun. Defisit akan bertambah di tahun 2024 menjadi 477 triliun rupiah per tahun. Untuk mengamankan postur anggaran pemerintah melakukan relokasi ke kendaraan listrik.
Saat ini, penggunaan mobil listrik memang tengah digandrungi di beberapa negara di dunia. Ada Tiongkok, Inggris, Amerika Serikat dan Jerman yang telah lebih dahulu mengembangkan dan mendorong penggunaan mobil listrik. Salah satu alasan utamanya karena kendaraan ini ramah lingkungan.
Asosisasi otomotif Indonesia memprediksi hingga 2027, pertumbuhan mobil listrik di Indonesia masih minim. Sampai saat itu populasi mobil listrik hanya akan berada di kisaran 5.000-10.000 unit. Sangat kecil dibandingkan dengan total populasi mobil konvensional yang mencapai 15 juta unit.
Namun mulai tahun 2040, pertumbuhan mobil listrik akan tinggi. Populasi mobil listrik di Indonesia akan mencapai 3,5 juta unit. Tetapi masalahnya, jumlah mobil konvensional juga akan meningkat hingga 50 juta unit. Artinya, porsi mobil listrik masih akan tetap kecil dibandingkan dengan mobil konvensional, bahkan pada 2040 sekalipun.

Perubahan Pola Hidup
Meski prediksi pertumbuhan mobil listrik dan mobil konvensional belum berimbang namun kebijakan pemerintah mengurangi impor bahan bakar minyak akan berpengaruh pada biaya operasi mobil konvensional.
Pemerintah memiliki fokus pada tingginya impor minyak yang terus meningkat. Ujung-ujungnya transaksi berjalan akan terus terbebani. Devisa akan berhamburan ke luar negeri. Pengurangan impor bahan bakar sebesar Rp. 111,3 triliun rupiah per tahun menjadi faktor utama yang harus dipecahkan.
Sementara persoalan lain muncul yakni pada teknologi baterai, infrastruktur pengisian daya, dan ketersediaan energi listrik. Saat ini harga baterai untuk kendaraan listrik berada di kisaran US$ 200/kwh. Sebuah mobil listrik ukuran sedang (minibus) rata-rata menggunakan kapasitas baterai 60 kwh untuk mencapai jarak 250-300. Alhasil, harga rata-rata baterai untuk satu mobil mencapai US$ 12.000, atau setara dengan Rp 171.600.000 (kurs Rp 14.300/US$). Pada posisi tersebut, harga mobil listrik (bila tidak disubsidi) akan lebih mahal sekitar 30-35% dibanding mobil konvensional.
Diprediksi pada 2027, harga baterai akan turun menjadi US$ 100/kwh, atau terpangkas setengahnya. Pada saat itu, harga dari kendaraan listrik menjadi sangat kompetitif dibandingkan dengan kendaraan konvensional. Setelah 2027 pertumbuhan kendaraan listrik akan semakin pesat.
Persoalan muncul terhadap mekanisme pengisian baterai listrik. Hal ini membutuhkan perubahan pola hidup. Saat sampai rumah sekitar jam 10 atau 11 malam, kita tidak bisa begitu saja masuk rumah. Dengan menggunakan mobil listrik, kita punya kebiasaan baru yakni mengisi daya baterai mobil kita seperti nge-charge smartphone kita.
Peran Perusahaan Listrik Negara akan memiliki fungsi strategis yakni melakukan revolusi industri listrik. Mengapa demikian? Selama ini konsumsi Perusahaan Listrik Negara terjadi pada beban puncak dari siang hari hingga pukul 23.00 malam hari, sedangkan pada pagi hari PLN mengalami penurunan konsumsi. Misalnya, jaringan Jawa Bali tahun 2018, kapasitas terpasang 34.550 MW (megawatt), terjadi beban puncak 27.070 MW, sedangkan di pagi hari mengalami penuruhan konsumsi PLN hanya 17.500 MW. Dengan hadirnya mobil listrik di rumah tangga, di malam hari rumah tangga yang mengunakan kendaraan listrik mengisi baterai sehingga kerugian Perusahaan Listrik Negara tertutup.
Lalu depo Pertamina yang semula jadi depo penyaluran minyak diganti menjadi pemasangan pengisian baterai mobil. Jika pemerintah dan pihak swasta mulai mengembangkan depo untuk mobil listrik maka akan memberi peluang masyarakat mempercepat peralihan dari mobil konvensional ke mobil listrik.
Hal yang menarik lainnya adalah pembangunan pabrik baterai mobil listrik. Pemerintah Indonesia perlu mendorong investasi di sektor manufaktur baterai dan komponen lain yang dibutuhkan dengan cara memberikan insentif pajak dan sebagainya.
Apalagi Indonesia memiliki sumber daya alam yang diperlukan untuk pembuatan baterai, seperti nikel dan kobalt. Membuat investasi terkait baterai untuk kendaraan listrik lebih menarik.
Dengan segala prasarat dari keputusan Presiden dan ketersediaan listrik di Indonesia sudah cukup untuk mendukung penggunaan kendaraan listrik. Prospek industri mobil listrik di Indonesia pun akan mengalami masa kegemilangannya.
Saat ini sudah ada beberapa investor yang sudah menyatakan ketertarikan untuk membangun fasilitas pendukung ekosistem mobil listrik, seperti Hyundai. Tetapi, tidak cukup hanya menunggu, pemerintah perlu membuat investasi di industri kendaraan listrik ini lebih menarik, agar benar-benar terealisasi.
(Ed/Ag)

Leave a Reply