Covid-19: Banyak Pekerja Menganggur di Korea maupun Indonesia
Pandemi Covid-19 masih melanda dunia. Salah satu dampaknya adalah banyak pekerja menjadi menganggur. Hal tersebut juga dialami para pekerja di Korea Selatan dan Indonesia.
Data yang dilansir The Korea Herald pada Rabu, 11 November 2020, Korea Selatan terus mengalami kenaikan jumlah pengangguran sejak pandemi berlangsung. Bahkan bulan Oktober tercatat kenaikan tertinggi.
Menurut Statistics Korea, Negeri Ginseng itu sudah kehilangan 195.000 pekerja pada Maret 2020. Pada bulan berikutny bertambah 476.000 orang. Pada September, ada 392.000 orang. Sedangkan bulan Oktober, tingkat pekerjaan bagi mereka yang berusia antara 15 dan 64 mencapai 65,9 persen, turun 1,4 persen dari tahun sebelumnya. Tingkat pengangguran dewasa muda – mereka yang berusia antara 15 dan 29 – mencapai 8,3 persen di bulan itu, naik 1,1 poin dari tahun sebelumnya.
“Pasar tenaga kerja menunjukkan pemulihan yang lambat pada Oktober, dipengaruhi oleh dampak kebangkitan kembali kasus COVID-19. Kondisi pasar kerja tetap sulit,” kata pihak Kementerian Keuangan Korea Selatan dalam sebuah pernyataan.
Jumlah total pengangguran mencapai 1,03 juta di bulan Oktober, naik 164.000 dari tahun sebelumnya. Hampir semua kelompok umur melaporkan adanya peningkatan pengangguran.
Data yang relevan juga dikeluarkan oleh Gabjil 119, sebuah kelompok advokasi pekerja. Dalam hasil survei Senin, 7 Desember 2020, dari 500 instruktur Lembaga swasta, 27 persen di antaranya mengatakan mereka mengalami pengangguran dalam 10 bulan terakhir sejak wabah virus. Angka tersebut 1,8 kali lebih tinggi dari tingkat rata-rata di antara semua pekerja bergaji, yang mencapai 15,1 persen dalam survei serupa yang dilakukan pada bulan September.
Survei tersebut dilakukan dari 20-24 November pada 500 instruktur lembaga swasta oleh lembaga jajak pendapat Embrain Public.
Di antara alasan pengangguran, pemutusan hubungan kerja dan pembatalan atau penutupan kursus masing-masing menyumbang 25,2 persen, diikuti oleh penghentian pekerjaan yang direkomendasikan dengan 20 persen.
Dari mereka yang di-PHK, hanya 4 persen yang mengatakan mereka telah menerima tunjangan pengangguran, dengan 55,4 persen dari mereka tidak terdaftar dalam program asuransi ketenagakerjaan negara.
Sementara 78,8 persen guru harus mengambil cuti kerja akibat COVID-19. Dari jumlah tersebut, hanya 31,2 persen yang menyatakan menerima manfaat cuti negara.
Gabjil 119 menjelaskan bahwa instruktur lembaga swasta termasuk di antara kategori pekerja yang paling terkena dampak dari pandemi virus corona, tetapi justru luput dari perhatian pemerintah. Sebagian besar dari mereka tidak dilindungi oleh program asuransi pengangguran negara.
Kondisi Pekerja di Indonesia
Apa yang dialami oleh Korea Selatan juga dirasakan negara kita. Lembaga Ilmu Pengatahuan Indoensia (LIPI) merilis bahwa selain sektor kesehatan, pandemi Covid-19 berdampak terhadap sektor ekonomi khususnya keberlangsungan pekerjaan dan pendapatan.
Data Kementerian Ketenagakerjaan per 20 April 2020 mencatat sebanyak 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan dirumahkan dan terkena Pemutusan Hubungan Kerja. Hal ini terjadi karena sejumlah perusahaan mengalami penurunan produksi bahkan berhenti berproduksi.
Untuk mengetahui dampak pandemi Covid 19 terhadap tenaga kerjaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Litbang Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan dan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia melakukan survei online. Survei dilakukan selama periode 24 April sampai 2 Mei 2020 terhadap penduduk usia 15 tahun keatas, dengan jumlah responden yang terjaring sebanyak 2.160 responden yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.
Dampak pandemi Covid 19 dari sisi pekerja, terjadi gelombang PHK tenaga kerja dan penurunan pendapatan sebagai akibat terganggunya kegiatan usaha pada sebagian besar sektor. Sebanyak 15,6% pekerja mengalami PHK dan 40% pekerja mengalami penurunan pendapatan, diantaranya sebanyak 7% pendapatan buruh turun sampai 50%. “Kondisi ini berpengaruh pada kelangsungan hidup pekerja serta keluarganya,” jelas Ngadi dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI.
Dari sisi pengusaha, Ngadi melanjutkan, pandemi Covid 19 menyebabkan terhentinya kegiatan usaha dan rendahnya kemampuan bertahan pengusaha. Hasil survei mencatat 39,4 persen usaha terhenti, dan 57,1 persen usaha mengalami penurunan produksi. Hanya 3,5 persen yang tidak terdampak.
Kemampuan bertahan oleh di kalangan dunia usaha juga mengalami keterbatasan. Sebanyak 41% pengusaha hanya dapat bertahan kurang dari tiga bulan. Artinya pada bulan Agustus usaha mereka akan terhenti. Sebanyak 24% pengusaha mampu bertahan selama 3-6 bulan, 11% mampu bertahan selama 6-12 bulan ke depan, dan 24% mampu bertahan lebih dari 12 bulan.
Baca Juga: Di Tengah Pandemi, Pendapatan Nongshim dan Indomie Justru Meningkat
Sementara dampak Covid 19 pada usaha mandiri membuat usaha menjadi terhenti dan sebagian mengalami penurunan produksi. Sebanyak 40% usaha mandiri terhenti kegiatan usahanya, dan 52% mengalami penurunan kegiatan produksi. “Hal ini berdampak 35 persen usaha mandiri tanpa pendapatan dan 28 persen pendapatan menurun hingga 50 persen,” paparnya.
Dampak Covid 19 juga berdampak pada pekerja bebas sektor pertanian dan non-pertanian atau pekerja “serabutan” yang bekerja jika ada permintaan bekerja. Hasil survei menunjukkan sebanyak 55% pekerja bebas pertanian dan non-pertanian tidak ada pekerjaan, dan 38% order berkurang. Dilihat dari pendapatan, sebanyak 58% pekerja bebas tidak memiliki pendapatan selama masa pandemi Covid 19 dan 28% pendapatan berkurang sampai 30%.
Ngadi mengungkapkan, dari hasil survei tersebut dapat diprediksi 10 juta pengusaha mandiri akan berhenti bekerja dan 10 juta lainnya pendapatan menurun lebih dari 40 persen. Sebanyak 15 juta pekerja bebas atau pekerja keluarga akan menganggur.
Dalam dua hingga tiga bulan ke depan (Juli – Agustus), pengangguran bertambah 25 juta orang, terdiri dari 10 juta pekerja mandiri dan 15 juta pekerja bebas. Angka kemiskinan akibat adanya penurunan upah dan tanpa pendapatan diperkirakan akan mencapai 17,5 juta rumah tangga dengan asumsi Garis Kemiskinan adalah 440 ribu per kapita per bulan.
Data LIPI diperkuat oleh survei Jobstreet Indonesia yang dirilis CNN Indonesia. Hasilnya, lembaga tersebut memproyeksi jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 11 juta hingga akhir tahun nanti. Hal ini diungkap Country Manager Jobstreet Indonesia Faridah Lim dalam diskusi virtual, Kamis, 8 Oktober 2020.
Sementara, Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Sumiyati memprediksi jumlah pengangguran bertambah sekitar 5,23 juta orang untuk skenario sangat buruk pada 2020. Kemudian, untuk skenario berat, jumlah pengangguran diproyeksi naik 4,03 juta orang.
BPS mencatat jumlah pengangguran sekitar 6,88 juta pada Februari 2020. Artinya, jika ada kenaikan 4 juta-5 juta orang, maka jumlah pengangguran dapat mencapai lebih dari 12 juta orang tahun ini.
(Ag/Ag)
Foto: Liputan6.com

Leave a Reply